Banjarmasin: Sejenak bersandar di tepi Barito

Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara agraris yang mengandalkan mata pencahariannya dengan bercocok tanam, tapi juga sebagai negara maritim. Tak percaya? Coba datang ke Banjarmasin, Anda akan melihat masyarakat yang mengandalkan air sebagai sumber penghidupan mereka.

Banjarmasin adalah ibukota provinsi Kalimantan Selatan yang sering juga dikenal dengan sebutan Kota Air. Predikat ini sah saja karena kota yang berdiri pada 1562 ini dialiri Sungai Barito dan sungai-sungai kecil lainnya. Selain itu secara tipografi, letak daratan Banjarmasin dibawah permukaan air laut pasang. Sungai barito yang lebar ini kemudian menjadi sarana transportasi dan keperluan hidup masyarakat sehari-hari yang bertahan hingga saat ini.

Kota Banjarmasin dengan luas 72 km persegi memiliki semboyan “Kayuh Baimbai” yang bermakna bahwa masyarakat Banjarmasin suka bekerja keras, suka bekerjasama atau bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan. Secara harfiah, “Kayuh” berarti Dayung, dan “Baimbai” berarti bersama-sama.

Bukti bahwa sungai menjadi sangat penting bagi masyarakat setempat bisa dilihat dengan keberadaan “Lanting”. Lanting adalah istilah untuk rumah yang dibangun di atas sungai. Masih tak percaya? Coba datang ke tepi sungai Barito, muara sungai Kuin, pada pukul 3 WITA sampai mulainya terbit matahari sekitar 7 WITA. Anda akan melihat perahu-perahu berdempet-dempetan. Perahu yang disebut Jukung ini membawa sayur, buah, wadai (makanan kecil dalam bahasa Banjar), sarapan, dan juga lauk pauk lainnya. Ya, di Jukung inilah masyarakat melakukan transaksi perdagangan layaknya pasar yang lebih dikenal sebagai Pasar Terapung.

Budaya masyarakat yang terlihat pada Pasar Terapung ini seolah tak lekang oleh waktu. Jaman boleh berganti, namun keberadaan pasar ini tak tergantikan. Para wisatawan asing yang berkunjung ke Banjarmasin pun sangat menyukainya. Mereka menyewa perahu kecil dari dermaga-dermaga kecil untuk ikut merasakan suasana jual-beli sembari merasakan matahari terbit di ufuk timur. Para pedagang seolah berlomba menghampiri konsumennya. Ada juga yang mencoba kuliner khas setempat yakni soto Banjar yang menggoda. Tak salah rasanya, jika pasar Terapung tidak hanya menjadi pusat perdagangan namun juga memiliki potensi pariwisata.

Pasar terapung tidak memiliki organisasi seperti pada pasar di daratan, sehingga tidak tercatat berapa jumlah pedagang dan pengunjung atau pembagian pedagang berdasarkan barang dagangan. Keistimewaan dari pasar yang sudah ada sejak 400 tahun yang lalu ini dapat dilihat dari para pedagangnya yang mayoritas adalah perempuan. Selain itu juga masih terdapat transaksi perdagangan dengan cara barter. Para pedagang saling menukarkan komoditasnya sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Dalam bahasa Banjar, transaksi barter ini disebut bapanduk.

Tak jauh dari Pasar Terapung, Anda akan melihat pulau kecil bernama pulau Kembang yang ditinggali oleh kera-kera jinak. Menurut legenda, orang-orang Tionghoa dahulu sering datang ke pulau ini untuk berziarah sambil membawa makanan berupa pisang atau kacang. Konon, apabila seseorang kemudian didatangi oleh kera-kera tersebut, maka pertanda akan mendapat rejeki. Namun, jika kera-kera tersebut lari masuk ke dalam hutan, maka orang tersebut akan surut rejekinya.

Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin memang banyak berhubungan dengan sungai, rawa, dan danau. Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Hampir segenap masyarakat yang sebagian besar berasal dari suku Banjar ini memiliki kehidupan yang religius. Ikatan kekerabatan mulai longgar jika dibandingkan dengan masa lalu. Oleh sebab itu, orientasi masyarakatnya lebih mengarah kepada intelektual dan keagamaan.

Dahulu, urang banjar (sebutan untuk masyarakat suku Banjar) mengembangkan sistem budaya, sistem sosial, dan material budaya yang berkaitan dengan religi melalui proses adaptasi, akulturasi, dan asimilasi. Kehidupan yang penuh toleransi beragama dapat terlihat dari masih adanya unsur budaya Hindu dan Buddha yang dipertahankan oleh masyarakat yang dominan beragama Islam.

Tahukah Anda bahwa nama Banjarmasin justru didapat dari Belanda? Awalnya kota ini bernama Banjarmasih. Orang Belanda kemudian menyebutnya Bandzermash yang berubah lagi pada 1664 menjadi Banjarmassingh. Pada pertengahan abad ke-19, semua surat-surat Belanda ke Indonesia ditulis dengan Banjarmasin dan berlaku hingga saat ini.

Masih banyak tempat-tempat menarik yang dapat Anda kunjungi di Banjarmasin. Ada Masjid Raya Sabilal Muhtadin yang merupakan mesjid terbesar di Kalimantan Selatan. Ada juga komplek makam pahlawan nasional Pangeran Antasari. Yang menarik juga adalah Siring Sudirman yang merupakan trotoar yang cukup lebar memisahkan jalan Sudirman dengan Sungai Barito. Jika senja tiba, lampu-lampu mulai menyala, sempatkanlah berjalan di Siring Sudirman merasakan hembusan angin yang segar sambil menikmati deburan ombak sungai yang menentramkan jiwa. (Rizky Kertanegara)